Batik Pekalongan adalah batik yang dibuat di Pekalongan. Batik ini memiliki ciri khas seperti jenis-jenis batik lainnya. Batik Pekalongan
tumbuh pesat karena daerah pekalongan merupakan daerah pesisir utara
Jawa sebelah barat. Dan daerah pesisir merupakan daerah lalu lintas
ekonomi, sehingga batik Pekalongan menjadi terkenal.
Pengembangan seni batik
pesisiran juga dipengaruhi oleh budaya kraton sebagai pusat
pemerintahan. Kraton Cirebon pada masa itu telah menjadi kiblat budaya
dan agama bagi penduduk kota-kota pesisir Jawa sebelah barat. Dalam
sejarah batik pesisiran, seperti Pekalongan, Tegal, Indramayu, Karawang,
Ciamis, Tasikmalaya, dan Garut, pola batiknya mengambil pola hias pada
kraton Cirebon. Awal Pengembangan batik Cirebon mempunyai hubungan yang erat.
Pola hias batik cirebon
mendapat pengaruh dari bentuk ragam hias taman Sunyaragi dan Keraton
Pakungwati. Bentuk taman Sunyaragi digambarkan tanah wadas meniru
keadaan di negara Cina. Demikian pula bentuk megamendung dan kontur
ombak-ombak laut.
Batik Cirebon mengambil tema ragam hias
pada bangunan Taman Sunyaragi dan Keraton. Batik Pekalongan lebih
banyak dipengaruhi oleh ragam hias keramik Cina. Ragam hias keramik Cina
banyak menghiasi bangunan Keraton Kasepuhan dan Makam Raja-Raja Cirebon
di Gunung Jati.
Obyek lukisan keramik Cina pada dinasti
Ming yang menjadi lambang kemegahan dan kekayaan keraton Cirebon
rupanya menjadi perhatian perajin batik Pekalongan.
Perajin batik Pekalongan telah
menempatkan hiasan keramik Cina ini sebagai kebudayaan leluhur. Pilihan
ragam hias, seperti bunga persik, bunga rose, sulur daun, sulur pandan,
dan teratai adalah ragam hias jenis flora yang sebagian besar menjadi
obejk utama. Ragam hias semacam itu banyak didapat pada lukisan keramik,
Pola jenis daun melengkapi ragam hias flora, seperti bentuk burung
pipit, burung merak, ular baga, ataupun kupu-kupu.
Itulah sejumlah jenis ragam hias yang sejak awal sudah menjadi pilihan perkembangan corak batik Pekalongan. Warna-warni yang mencolok sangat kontras jika dibanding dengan batik pedalaman, seperti Yogyakarta dan Solo.
Pilihan warna yang mencolok dari batik
Pekalongan tampaknya tidak sekedar sebagai pelengkap pola hias. Adanya
pengaruh warna keramik pada masa dinasi Ming yang hanya diproduksi pada
abad ke-17 sampai 18. Selain biru putih juga diproduksi berbagai warna.
Menurut filsafat Cina kuno, warna-warna tersebut menyimbolkan makna
keaktifan, kejantanan, dan keperkasaan. Melalui simbol warna, hal itu
diekspresikan dengan serba terang dan bergerak serta penuh variasi
(dinamika).
Melalui seni batik mereka memiliki tujuan ganda sebagai seni pakai dan akulturasi terhadap keindahan tanah leluhur.
Namun, sebelum ragam hias keramik Ming abad 17 mewarnai corak
batiknya, batik Pekalongan pernah mendapatkan penghargaan di
tengah-tengah keluarga Cina ningrat, yaitu dari Ratu Roro Sumanding.
Ratu Roro Semanding adalah istri Sunan Cirebon Syarif Hidayatullah yang
nama aslinya Tan Eng Hoat.
Penghargaan ini diberikan karena
karya-karya batik Pekalongan yang diadaptasi dari keramik telah membawa
kebesaran nama dinasti Ming sebagai penguasa kerajaan Cina. Ming yang
berarti cemerlang atau berkilauan.
Penghargaan terhadap batik Pekalongan
oleh Kraton Cirebon selain ragam hias dari keramik Ming juga karena
teknik pembuatannya yang berbeda dengan daerah-daerah lain pada zaman
itu. Pada masa itu, perajin batik Pekalongan menggunakan teknik
pewarnaan melukis (colet). Sementara itu, di daerah lain dalam membuat
warna masih menggunakan teknik celup.
Teknik colet mempermudah untuk mencapai
pewarnaan yang dikehendaki sehingga setiap detail motif hias dapat
dilukis dengan sempurna sesuai dengan yang dikehendaki. Teknik melukis
warna melalui sapuan kuas (colet) bukan sesuatu yang baru. Teknik
semacam ini berkaitan dengan kerajinan tangan (terutama kerajinan sutra
dan porselin) di Cina pada masa kekaisaran Ming.
Dalam mata rantai perdagangan, bahan
warna yang berupa indigosol, India merupakan negara pemasok utama bagi
Cina. Bahan pewarna kain ini pada masa dinasti Ming didatangkan dari
India. Menurut Ruffear, jalur perdagangan bahan pewarna tekstil
mengikuti jalur lama, yaitu dari India ke Indonesia dan dari Indonesia
ke Cina. Begitu pula sebaliknya.
Jalur perjalanan Cheng-Ho ke Samudra
Barat yang ditulis Zheng He Xia yang dimulai dari Nanjing (Ibu kota).
Kapal-kapal berlabuh di Qui-Nho melalui Cina Selatan langsung (India)
atau Teluk Benggala (Bengali) dan perjalanan dilanjutkan ke Arab atau
Afrika dan Eropa. Begitu sebaliknya.
Dari hubungan perdagangan antarpulau dan antarnegara yang melewati jalur laut itu, pedagang Batik Pekalongan
tidak mengalami kesulitan untuk mendapatkan pengetahuan baik teknis,
bahan kain, maupun bahan pewarna. Hal itu karena Pekalongan termasuk
kota pelabuhan, seperti Surabaya, Gresik, Tuban, Demak, dan Cirebon.
Pada tahun 1620, batik telah menjadi
sumber mata pencaharian masyarakat Pekalongan. Hampir setengah abad
batik dirintis oleh pedagang Cina di kampong Sampangan. Pada tahun-tahun
itu para buruh pribumi mulai membuka usaha sendiri. Dr. Kusnin Asa
mengatakan masa itu sebagai masa harapan dan kecemasan.
Kondisi tersebut dipengaruhi kondisi
politik oleh beralihnya status Pekalongan menjadi tanah perdikan dibawah
kekuasaan Kerajaan Mataram yang sebelumnya dibawah kekuasaan Kesultanan
Cirebon. Perpindahan status tersebut mengakibatkan masyarakat
Pekalongan merasa diperlakukan sebagai daerah jajahan.
Pada periode ini juga mulai
diberlakukan aturan pemakaian batik dimana masyarakat biasa dilarang
memakai maupun memproduksi batik bermotif larangan (Awisaning
Ratu/Larangan Dalem). Batik dengan motif batik jenis ini hanya boleh dikenakan oleh keluarga Keraton.
Meskipun Pekalongan pada masa Mataram
dilarang memproduksi batik pola larangan, namun perajin di desa-desa
masih membuat batik tradisi lama berpola kawung-gringsing atau tumpal.
Namun, pembuatan batik ini tidak mempengaruhi pengembangan batik asli, seperti Jlamprang atau batik campuran gaya Cina.
Diskriminasi pemakaian busana ini
melahirkan kebencian kaum pedagang muslim dan Tionghoa kepada kaum
priyayi penguasa. Sikap perlawanan masyarakat Pekalongan terhadap
kekuasaan Mataram ini mempengaruhi munculnya corak-corak batik
Pekalongan. Sikap perlawanan masyarakat Pekalongan tersebut menjadikan
daerah tetangga sekitarnya menyebutnya dengan semboyan Merak Ngigel
digambarkan dengan simbol burung merak yang sedang menari sehingga
memberikan makna sifat-sifat masyarakat Pekalongan yang tidak mau
ditindas dan mandiri.
Batik Cirebon kuno beragam hias
Singobarong dan banyak nama-nama batik Cirebon lainnya yang mendapat
pengaruh kuat dari peninggalaan ragam hias bermotif seni Cina. Dalam
pilihan warna, batik Cirebon telah mendapat pengaruh warna dari keramik
biru dan putih. Meskipun ada warna-warna yang mencolok di luar biru dan
putih, tetapi sejarah warna batik Cirebon dimulai dengan dua warna biru dan putih.
Demikian tulisan tentang Batik Pekalongan, semoga bermanfaat.
Sumber : Batik Pekalongan Murah